Halaman

Sabtu, 21 Mei 2011

KEBUDAYAAN TULUNGAGUNG


Sebelum kita menjelasan tentang kebudayaan tulungagung, pertama kita harus mengetahui terlebih dahulu apa itu kebudayaan.  Budaya atau kebudayaan berasal dari bahasa Sanskerta yaitu buddhayah, yang merupakan bentuk jamak dari buddhi (budi atau akal) diartikan sebagai hal-hal yang berkaitan dengan budi dan akal manusia. Dalam bahasa Inggris, kebudayaan disebut culture, yang berasal dari kata Latin Colere, yaitu mengolah atau mengerjakan. Bisa diartikan juga sebagai mengolah tanah atau bertani. Kata culture juga kadang diterjemahkan sebagai "kultur" dalam bahasa Indonesia. Budaya adalah suatu cara hidup yang berkembang dan dimiliki bersama oleh sebuah kelompok orang dan diwariskan dari generasi ke generasi. Budaya terbentuk dari banyak unsur yang rumit, termasuk sistem agama dan politik, adat istiadat, bahasa, perkakas, pakaian, bangunan, dan karya seni. Kebudayaan sangat erat hubungannya dengan masyarakat. Melville J. Herskovits dan Bronislaw Malinowski mengemukakan bahwa segala sesuatu yang terdapat dalam masyarakat ditentukan oleh kebudayaan yang dimiliki oleh masyarakat itu sendiri. Istilah untuk pendapat itu adalah Cultural-Determinism.
Herskovits memandang kebudayaan sebagai sesuatu yang turun temurun dari satu generasi ke generasi yang lain, yang kemudian disebut sebagai superorganic. Menurut Andreas Eppink, kebudayaan mengandung keseluruhan pengertian nilai sosial,norma sosial, ilmu pengetahuan serta keseluruhan struktur-struktur sosial, religius, dan lain-lain, tambahan lagi segala pernyataan intelektual dan artistik yang menjadi ciri khas suatu masyarakat.
Menurut Edward Burnett Tylor, kebudayaan merupakan keseluruhan yang kompleks, yang di dalamnya terkandung pengetahuan, kepercayaan, kesenian, moral, hukum, adat istiadat, dan kemampuan-kemampuan lain yang didapat seseorang sebagai anggota masyarakat.
Menurut Selo Soemardjan dan Soelaiman Soemardi, kebudayaan adalah sarana hasil karya, rasa, dan cipta masyarakat. Dari berbagai definisi tersebut, dapat diperoleh pengertian mengenai kebudayaan adalah sesuatu yang akan memengaruhi tingkat pengetahuan dan meliputi sistem ide atau gagasan yang terdapat dalam pikiran manusia, sehingga dalam kehidupan sehari-hari, kebudayaan itu bersifat abstrak. Sedangkan perwujudan kebudayaan adalah benda-benda yang diciptakan oleh manusia sebagai makhluk yang berbudaya, berupa perilaku dan benda-benda yang bersifat nyata, misalnya pola-pola perilaku, bahasa, peralatan hidup, organisasi sosial, religi, seni, dan lain-lain, yang kesemuanya ditujukan untuk membantu manusia dalam melangsungkan kehidupan bermasyarakat.

 

Wujud Kebudayaan

Menurut J.J. Hoenigman, wujud kebudayaan dibedakan menjadi tiga: gagasan, aktivitas, dan artefak.
§  Gagasan (Wujud ideal)
Wujud ideal kebudayaan adalah kebudayaan yang berbentuk kumpulan ide-ide, gagasan, nilai-nilainorma-norma, peraturan, dan sebagainya yang sifatnya abstrak; tidak dapat diraba atau disentuh. Wujud kebudayaan ini terletak dalam kepala-kepala atau di alam pemikiran warga masyarakat. Jika masyarakat tersebut menyatakan gagasan mereka itu dalam bentuk tulisan, maka lokasi dari kebudayaan ideal itu berada dalam karangan dan buku-buku hasil karya para penulis warga masyarakat tersebut.
§  Aktivitas (tindakan)
Aktivitas adalah wujud kebudayaan sebagai suatu tindakan berpola dari manusia dalam masyarakat itu. Wujud ini sering pula disebut dengan sistem sosial. Sistem sosial ini terdiri dari aktivitas-aktivitas manusia yang saling berinteraksi, mengadakan kontak, serta bergaul dengan manusia lainnya menurut pola-pola tertentu yang berdasarkan adat tata kelakuan. Sifatnya konkret, terjadi dalam kehidupan sehari-hari, dan dapat diamati dan didokumentasikan.
§  Artefak (karya)
Artefak adalah wujud kebudayaan fisik yang berupa hasil dari aktivitas, perbuatan, dan karya semua manusia dalam masyarakat berupa benda-benda atau hal-hal yang dapat diraba, dilihat, dan didokumentasikan. Sifatnya paling konkret di antara ketiga wujud kebudayaan.

Dalam kenyataan kehidupan bermasyarakat, antara wujud kebudayaan yang satu tidak bisa dipisahkan dari wujud kebudayaan yang lain. Sebagai contoh: wujud kebudayaan ideal mengatur dan memberi arah kepada tindakan (aktivitas) dan karya (artefak) manusia.

Komponen Kebudayaan
Berdasarkan wujudnya tersebut, kebudayaan dapat digolongkan atas dua komponen utama:
§  Kebudayaan material
Kebudayaan material mengacu pada semua ciptaan masyarakat yang nyata, konkret. Termasuk dalam kebudayaan material ini adalah temuan-temuan yang dihasilkan dari suatu penggalian arkeologi: mangkuk tanah liat, perhisalan, senjata, dan seterusnya. Kebudayaan material juga mencakup barang-barang, seperti televisi, pesawat terbang, stadion olahraga, pakaian, gedung pencakar langit, dan mesin cuci.
§  Kebudayaan nonmaterial
Kebudayaan nonmaterial adalah ciptaan-ciptaan abstrak yang diwariskan dari generasi ke generasi, misalnya berupa dongeng, cerita rakyat, dan lagu atau tarian tradisional.



SEJARAH TULUNGAGUNG
Awalnya, Tulungagung hanya merupakan daerah kecil yang terletak di sekitar tempat yang saat ini merupakan pusat kota (alun-alun). Tempat tersebut dinamakan Tulungagung karena merupakan sumber air yang besar - dalam bahasa Kawi, tulung berarti mata air, dan agung berarti besar -. Daerah yang lebih luas disebut Ngrowo. Nama Ngrowo masih dipakai sampai sekitar awal abad XX, ketika terjadi perpindahan pusat ibu kota dari Kalangbret ke Tulungagung. Pada tahun 1205 M, masyarakat Thani Lawadan di selatan Tulungagung, mendapatkan penghargaan dari Raja Daha terakhir, Kertajaya, atas kesetiaan mereka kepada Raja Kertajaya ketika terjadi serangan musuh dari timur Daha. Penghargaan tersebut tercatat dalam Prasasti Lawadan dengan candra sengkala "Sukra Suklapaksa Mangga Siramasa" yang menunjuk tanggal 18 November 1205 M. Tanggal keluarnya prasasti tersebut akhirnya dijadikan sebagai hari jadi Kabupaten Tulungagung sejak tahun 2003.
Di Desa Boyolangu, Kecamatan Boyolangu, terdapat Candi Gayatri. Candi ini adalah tempat untuk mencandikan Gayatri (Sri Rajapatni), istri keempat Raja Majapahit yang pertama, Raden Wijaya (Kertarajasa Jayawardhana), dan merupakan ibu dari Ratu Majapahit ketiga, Sri Gitarja (Tribhuwanatunggadewi), sekaligus nenek dari Hayam Wuruk (Rajasanegara), raja yang memerintah Kerajaan Majapahit di masa keemasannya. Nama Boyolangu itu sendiri tercantum dalam Kitab Nagarakertagama yang menyebutkan nama Bayalangu/Bhayalango (bhaya = bahaya, alang = penghalang) sebagai tempat untuk menyucikan beliau. Berikut ini adalah kutipan Kitab Negarakertagama yang ditulis oleh Mpu Prapanca dan telah diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia:

Prajnyaparamitapuri itulah nama candi makam yang dibangun
Arca Sri Padukapatni diberkati oleh Sang Pendeta Jnyanawidi
Telah lanjut usia, paham akan tantra, menghimpun ilmu agama
Laksana titisan Empu Barada, menggembirakan hati Baginda
(Pupuh LXIX, Bait 1)

Di Bayalangu akan dibangun pula candi makam Sri Rajapatni
Pendeta Jnyanawidi lagi yang ditugaskan memberkati tanahnya
Rencananya telah disetujui oleh sang menteri demung Boja
Wisesapura namanya, jika candi sudah sempurna dibangun
(Pupuh LXIX, Bait 2)

Makam rani: Kamal Padak, Segala, Simping
Sri Ranggapura serta candi Budi Kuncir
Bangunan baru Prajnyaparamitapuri
Di Bayalangu yang baru saja dibangun
(Pupuh LXXIV, Bait 1)


VISI DAN MISI
A. Visi
Visi adalah rumusan umum mengenai keadaan yang diinginkan pada akhir periode perencanaan. Berdasarkan pengertian dimaksud serta dengan berlandasakan kepada dasar filosofis yang dianut oleh masyarakat maka ditetapkan Visi Pembangunan Daerah Kabupaten Tulungagung Tahun 2009-2013, sebagai berikut:

"Terwujudnya Kesejahteraan Masyarakat Dalam Suasana Kerukunan dan Kebersamaan Melalui Pembangunan DIHATIKU INGANDAYA"

Visi ini memiliki makna sebagai berikut :
1.      Kesejahteraan masyarakat adalah merupakan tujuan akhir dari sebuah proses penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan;
2.      Kerukunan dan kebersamaan adalah merupakan sifat utama serta modal dasar masyarakat dalam rangka mewujudkan tujuan yang ingin dicapai secara konsisten dan berkesinambungan;
3.      Dihatiku Ingandaya adalah merupakan sebuah arah pembangunan yang dilandasi oleh kesadaran terhadap potensi-potensi daerah yang dimiliki Kabupaten Tulungagung.

B. Misi
Misi merupakan  rumusan umum mengenai upaya-upaya yang akan dilaksanakan untuk mewujudkan visi. Berdasarkan pengertian dimaksud serta dengan berlandaskan kepada makna visi Kabupaten Tulungagung, maka ditetapkan Misi Pembangunan Daerah Kabupaten Tulungagung Tahun 2009-2013, sebagai berikut :
1.      Meningkatkan perekonomian daerah yang berbasis dihatiku ingandaya dengan mendorong pertumbuhan investasi dan pemberdayaan potensi masyarakat;
2.      Meningkatkan kesejahteraan rakyat dan ketahanan sosial budaya melalui usaha pencapaian pembangunan manusia;
3.      Meningkatkan kapasitas daerah dalam rangka pemberdayaan masyarakat dan pembangunan daerah yang berwawasan lingkungan;
4.      Mewujudkan insan pembangunan yang beriman dan bertaqwa guna menjamin pencapaian masyarakat maju dan mandiri yang berkeadilan sosial;
5.      Meningkatkan derajat kehidupan politik yang demokratis, yang didukung oleh terpeliharanya ketertiban, ketentraman di masyarakat serta tegaknya supremasi hukum.

C. Prinsip-Prinsip
Prinsip dan nilai merupakan koridor bagi masyarakat Kabupaten Tulungagung yang akan menjadi penyelaras gerakan pembangunan sekaligus menjadi pengikat persatuan dalam menjalankan kegiatan-kegiatan pembangunan.

Prinsip-prinsip yang dianut oleh masyarakat Kabupaten Tulungagung, antara lain adalah:
1.      Partisipasi, yaitu keterlibatan masyarakat dalam perumusan serta pelaksanaan kebijakan publik serta dalam setiap tahapan pembangunan secara bertanggungjawab.
2.      Demokrasi, yaitu manajemen pemerintahaan dari rakyat dan untuk rakyat yang dilandasi dengan prinsip-prinsip konstitusionalisme.
3.      Transparansi, yaitu ketersediaan berbagai informasi kebijakan publik dan pembangunan yang memadai bagi masyarakat.
4.      Akuntabilitas, yaitu kemampuan mempertanggungjawabkan seluruh aktifitas dan kewenangan yang di dimiliki kepada masyarakat.

DEMOGGRAFIS
A. Jumlah Penduduk
Jumlah dan pertumbuhan penduduk Kabupaten Tulungagung selama 5 Tahun (Tahun 2003-2007) yaitu Tahun 2003 sebanyak 984.730 jiwa dengan tingkat pertumbuhan 0,68%; Tahun 2004 sebanyak 989.856 jiwa dengan tingkat pertumbuhan 0,52%; Tahun 2005 sebanyak 996.962 jiwa dengan tingkat pertumbuhannya 0,72%; Tahun 2006 sebanyak 1.002.807 jiwa dengan tingkat pertumbuhan 0,59%; dan Tahun 2007 sebanyak 1.020.217 jiwa dengan tingkat pertumbuhan 1,74%.

B. Sebaran Penduduk
Distribusi Penduduk di Kabupaten Tulungagung dapat diukur dengan angka kepadatan penduduk. Kepadatan penduduk adalah banyaknya penduduk per satuan unit wilayah/luas wilayah. Kepadatan penduduk Kabupaten Tulungagung Tahun 2004 yaitu 875 jiwa/km2 dan pada Tahun 2008 adalah 907 jiwa/km2. Berdasarkan klasifikasi angka kepadatan penduduk masing-masing kecamatan di Kabupaten Tulungagung Tahun 2008, bahwa kepadatan tertinggi adalah Kecamatan Tulungagung sebesar 4.961 jiwa/km². Kepadatan terendah adalah Kecamatan Tanggunggunung sebesar 212 jiwa/km².
Berdasarkan klasifikasi angka kepadatan penduduk masing-masing desa/kelurahan di Kabupaten Tulungagung Tahun 2008 menunjukkan bahwa kepadatan tertinggi adalah Kauman, Plandaan, Karangwaru, Bago, dan Kedungwaru. Sedangkan kepadatan terendah adalah  Rejoagung, Gendingan, Tanjungsari.

KESENIAN TULUNGAGUNG
A.    Kentrung
Banyak  di antara kita yang tidak lagi mengenal Kentrung, salah satu kesenian  yang dimainkan oleh sebuah grup dengan seperangkat alat musik yang  terdiri dari kendang, ketipung dan jidor. Kentrung adalah salah satu  kesenian bertutur, seperti layaknya wayang kulit. Hanya saja Kentrung  tidak disertai adegan wayang. Sepanjang pementasanya Kentrung hanya  diisi oleh seorang dalang yang merangkap sebagai penabuh gendang dan  ditemani oleh penyenggak yang menabuh rebana (jidor). Dulu  Kentrung banyak dipentaskan pada berbagai hajatan masyarakat seperti  syukuran kelahiran anak, khitanan, pitonan, maupun mudun lemah.
Kentrung sarat akan nilai-nilai dakwah. Materi lakon-nya  pada umumnya menceritakan tentang ketauladanan zaman Khalifah Empat,  Wali Songo dan zaman Mataram Islam. Ada juga yang terkait dengan sejarah  di Pulau Jawa yang banyak dipengaruhi oleh Hindu dan Budha. Di antara  lakon-lakonnya yang populer adalah Nabi yusuf, Syeh Subakir, Amad Muhammad, Kiai Dullah, Amir Magang, Sabar-Subur, Marmaya Ngentrung, Sunan Kalijaga, Ajisaka dan Babad Tanah Jawa. Selain itu kerap juga membabarkan mengenai nilai-nilai tasawuf dengan mengupas berbagai topik seperti Purwaning Dumadi, Keutaman, Kasampurnan Urip, dan Sangkan Paraning Dumadi. Kentrung juga sarat dengan pesan-pesan moral yang tercermin pada tembang-tembang Kentrung, diantaranya Kembang-Kembangan; Kembang Terong Abang Biru Moblong-Moblong, dan Sak Iki Wis Bebas Ngomong, Ojo Clemang-Clemong (bunga terong berwarna merah biru mencorong, sekarang ini sudah bebas berbicara, tetapi jangan celometan).
Prof. Dr. Suripan Sudi Hutomo dalam bukunya Kentrung mengatakan  kesenian ini berkembang pada abad XVI di Kediri, Blitar, Tulungagung,  Tuban dan Ponorogo. Versi awal kesenian ini cukup beragam. Ada yang  menyebut Kentrung sebagai kesenian asli bangsa Indonesia. Namun versi  lain mengatakan Kentrung berasal dari jazirah Arab, Persia, dan India.  Yang pasti, sebagai sarana dakwah, pada masa kejayaannya Kentrung  diminati masyarakat. Kentrung mencapai zaman keemasannya pada tahun  1970-an hingga 1980-an. Selama dua dasawarsa itu hampir seluruh  masyarakat yang berpesta mengudang Kentrung. Di awal 90-an, ketika  televisi makin murah dan layar tancap menawarkan altenatif hiburan yang  praktis, Kentrung mulai terseok.
Dari  catatan Seksi Kebudayaan Diknas Tulungagung pada tahun 70-an hampir  setiap desa di Tulungagung memiliki kelompok Kentrung. Namun saat ini  hanya tinggal 1 saja yang masih bertahan. Diknas Tulungagung pernah  menyarankan agar kelompok-kelompok Kentrung tidak terpaku pada pakem,  tapi menampilkan inovasi baru. Misal, mencampur dengan teknik penampilan  kesenian lain, kalau perlu mengambil metode campursari. Lenyapnya  apresiasi masyarakat, dan menyusutnya komunitas seniman Kentrung, juga  mengakibatkan tidak terjadinya regenerasi dan pewarisan. Serbuan  kesenian modern seperti layar tancap, dangdut, atau memutar VCD menjadi  penyebab utama hilangnya Kentrung di tengah masyarakat. Kentrung tidak  sendiri. Kesenian tradisional lainnya; Ketoprak, Ludruk, Langen Tayub,  Jaranan, dan Jathilan, juga mengalami nasib serupa. Namun khusus untuk  Kentrung, jalan menuju kematiannya lebih disebabkan oleh sikap  masyarakatnya yang lebih suka menjadikan kesenian sebagai tontonan bukan tuntunan. Jadi, tidak aneh jika perilaku masyarakat sekarang juga berubah karena kesenian tidak lagi berisi tuntunan-tuntunan.
Meskipun  sekarang ini Kentrung mulai meredup, beberapa seniman muda mulai  menggeluti Kentrung dengan mengembangkan inovasi-inovasi baru seperti  menggabungkanya dengan lawakan dan ludruk. Suatu usaha dari seniman muda  yang patut mendapat dukungan dan apresiasi dalam melestarikan Kentrung.

B.     Tayub (Lelangen Beksa)
Anggapan Tayub sebagai tarian mesum merupakan penilaian yang  keliru. Sebab, tidak seluruh Tayub identik dengan hal-hal yang negatif.  Dalam Tayub, ada kandungan nilai-nilai positif yang adiluhung.  Selain itu, Tayub juga menjadi simbol yang kaya makna tentang pemahaman  kehidupan dan punya bobot filosofis tentang jati diri manusia. Kesan Tayub sebagai tarian mesum muncul pada abad 19. Pada  1817, GG Rafles dari Inggris, dalam bukunya berjudul ''History of  Java'', menulis Tayub sebagai tarian ronggeng mirip pelacuran  terselubung. Kesan sama juga dituliskan oleh peneliti asal Belanda, G  Geertz dalam bukunya ''The Religion of Java''. Tapi, menurut koreografer Tayub Wonogiren, S Poedjosiswoyo  BA, orang Jawa akan protes bila kesan Rafles dan Gertz itu diterima  secara utuh. Sebab, kata dia, kesan mesum yang diberikan pada Tayub  hakikatnya terbatas pada pandangan sepintas yang baru melihat kulitnya  saja, tanpa mau mengenali isi maupun kandungan nilai filosofisnya.
Dalam buku ''Bauwarna Adat Tata Cara Jawa'' karangan Drs R  Harmanto Bratasiswara disebutkan, Tayuban adalah tari yang dilakukan  oleh wanita dan pria berpasang-pasangan. Keberadaan Tayub berpangkal  pada cerita kadewatan (para dewa-dewi), yaitu ketika dewa-dewi mataya  (menari berjajar-jajar) dengan gerak yang guyub (serasi). Menurut Poedjosiswoyo, berdasarkan sejarahnya, Tayub lahir  sebagai tarian rakyat pada abad Ke XI. Waktu itu, Raja Kediri berkenan  mengangkatnya ke dalam puri keraton dan membakukannya sebagai tari  penyambutan tamu keraton. Betapa Tayub memiliki kandungan nilai  adiluhung, kiranya dapat disimak dari tulisan dalam buku ''Gending dan  Tembang'' yang diterbitkan Yayasan Paku Buwono X. Dalam buku itu disebutkan, Tayub telah dipakai untuk  penobatan Prabu Suryowiseso sebagai Raja Jenggala, Jawa Timur, pada abad  XII. Keraton Jenggala kemudian kemudian membakukan Tayub sebagai tari  adat kerajaan, yang mewajibkan permaisuri raja menari ngigel (goyang) di pringgitan untuk menjemput kedatangan raja.
Tayub juga diyakini memiliki kandungan nilai agamis. Hal itu  terjadi pada abad XV, ketika Tayub digunakan sebagai media syiar agama  Islam di pesisir utara Jawa oleh tokoh agama Abdul Guyer Bilahi, yang  selalu mengawali pagelaran ayub dengan dzikir untuk mengagungkan asma  Allah. Budaya kejawen penganut paham tasawuf menilai Tayub kaya  kandungan filosofis akan gambaran jati diri manusia lengkap dengan  anasir keempat nafsunya. Dalam tarian itu selalu ada penari pria yang  menjadi tokoh sentral, sebagai visualisasi keberadaan Mulhimah. Kemudian  dilengkapi dengan empat penari pria pendamping, yang disebut sebagai  pelarih, sebagai penggambaran anasir empat nafsu manusia, terdiri atas  aluamah (hitam), amarah (merah), sufiah (kuning) dan mutmainah (putih). Selain itu, pemeran penari tledhek wanita sebagai  penggambaran dari cita-cita keselarasan hidup yang diidamkan manusia.  ''Yang inti kesimpulannya, untuk meraih cita-cita, harus terlebih dahulu  mampu mengendalikan anasir empat nafsu. Yang ini identik dengan pakem  wayang lakon Harjuno Wiwoho-Dewi Suprobo,'' kata Poedjosiswoyo. Di Tulungagung, Tayub juga dikenal sebagai Lelangen Beksa.  Kesenian ini berpotensi sebagai sarana pergaulan yang merakyat dan  aktual. Hampir di setiap bulan "baik", Lelangen Beksa digelar untuk  acara hajatan di daerah pinggiran Tulungagung.

C.    Reog Tulungagung
Reog Tulungagung merupakan gubahan tari rakyat, menggambarkan arak-arakan prajurit Kedhirilaya tatkala mengiringi pengantin “Ratu Kilisuci“ ke Gunung Kelud, untuk menyaksikan dari dekat hasil pekerjaan Jathasura, sudahkah memenuhi persyaratan pasang-girinya atau belum. Dalam gubahan Tari Reog ini barisan prajurit yang berarak diwakili oleh enam orang penari. Yang ingin dikisahkan dalam tarian tersebut ialah, betapa sulit perjalanan yang harus mereka tempuh, betapa berat beban perbekalan yang mereka bawa, sampai terbungkuk-bungkuk, terseok-seok, menuruni lembah-lembah yang curam, menaiki gunung-gunung, bagaimana mereka mengelilingi kawah seraya melihat melongok-longok ke dalam, kepanikan mereka, ketika “Sang Puteri“ terjatuh masuk kawah, disusul kemudian dengan pelemparan batu dan tanah yang mengurug kawah tersebut, sehingga Jathasura yang terjun menolong “Sang Puteri“ tewas terkubur dalam kawah, akhirnya kegembiraan oleh kemenangan yang mereka capai. Semua adegan itu mereka lakukan melalui simbol-simbol gerak tari yang ekspresif mempesona, yang banyak menggunakan langkah-langkah kaki yang serempak dalam berbagai variasi, gerakan-gerakan lambung badan, pundak, leher dan kepala, disertai mimik yang serius, sedang kedua tangannya sibuk mengerjakan dhogdhog atau tamtam yang mereka gendong dengan mengikatnya dengan sampur yang menyilang melalui pundak kanan. Tangan kiri menahan dhogdhog, tangan kanannya memukul-mukul dhogdhog tersebut membuat irama yang dikehendaki, meningkahi gerak tari dalam tempo kadang-kadang cepat, kadang-kadang lambat. Demikian kaya simbol-simbol yang mereka ungkapkan lewat tari mereka yang penuh dengan ragam variasi, dalam iringan gamelan yang monoton magis, dengan lengkingan selompretnya yang membawakan melodi terus-menerus tanpa putus, benar-benar memukau penonton, seakan-akan berada di bawah hipnose.

OBJEK WISATA TULUNGAGUNG
A.    Pantai Popoh
Pantai Popoh adalah obyek wisata pantai yang terletak di pesisir Samudera Hindia Kabupaten Tulungagung. Pantai ini merupakan salah satu obyek wisata andalan Tulungagung. Kawasan Popoh berada di ujung timur Pegunungan Kidul. Pantai popoh merupakan pantai yang telah dikembangkan dengan baik oleh P.R. Retjo Pentung. Akses menuju pantai popoh dapat ditempuh dengan aman dan nyaman melalui jalan aspal. Lokasinya kurang lebih 27 km dari pusat kota Tulungagung menuju arah pantai selatan. Dalam perjalanan menuju objek wisata Pantai Indah Popoh ini para pelancong dapat mengunjungi sentra kerajinan batu onyx yang merupakan salah satu produk unggulan Kabupaten Tulungagung. Pantai ini berbentuk teluk sehingga suasana tercipta suasana khas di dalamnya. Deburan ombak Laut Selatan yang penuh pesona magis, angin laut yang tidak begitu kuat, karang payung yang menyembul dari bawah laut, keindahan gunung disekitar teluk, dan dan "Reco Sewu" telah menjadi daya tarik utama pantai ini.

B.     Pantai Sine
Pantai yang terletak di Desa Kalibatur Kecamatan Kalidawir atau sekitar kurang lebih 35 km kearah selatan dari kota Tulungagung ini mempunyai keindahan dan panorama alam yang begitu indah. Pantai Sine ini merupakan pantai bebas dengan ombak yang cukup besar selain itu Pantai Sine ini merupakan pantai alam berbentuk teluk di pesisir selatan Kabupaten Tulungagung. Di sebelah utara terdapat tebing dengan pancuran alami yang mana airnya berasal dari mata air di atasnya dan di sebelah selatan Pantai Sine terdapat hutan yang masih terlindungi dan keberadaan pasar ikan tradisional yang pastilah menambah keindahan Pantai Sine. Walaupun menghabiskan waktu yang lumayan lama dari pusat kota tetapi perjalanan menuju wisata Pantai ini sangatlah menyenangkan karena melewati pegunungan dan perbukitan yang sangat indah. Selain menyajikan keindahan alami Pantai Sine ini juga menyajikan keragaman budaya lokal masyarakat sekitar, misalnya kesenian wayang kulit yang dipertunjukkan setiap tanggal satu suro, dan ada juga prosesi larung sesaji yang berguna untuk menangkal mara bahaya ataupun acara mencuci atau memandikan gaman seperti keris dan tombak dari para sesepuh masyarakat.

C.    Candi Boyolangu
Candi  Boyolangu merupakan kompleks percandian yang terdiri dari tiga bangunan  perwara. Masing-masing bangunan menghadap ke barat. Candi ini ditemukan  kembali oleh masyarakat pada tahun 1914 dalam timbunan tanah. Bangunan  pertama disebut dengan bangunan induk perwara, karena bangunan ini  berukuran lebih besar dibanding dengan bangunan kedua dan bangunan  lainnya. Letak bangunan ini di tengah bangunan lainnya. Candi  Boyolangu berada di tengah pemukiman penduduk di wilayah Dusun Dadapan,  Desa Boyolangu, kecamatan Boyolangu Kabupaten Tulunaggung, Wilayah  Provinsi Jawa Timur. Bangunan  induk perwara terdiri dari dua teras berundak yang hanya tinggal bagian  kakinya. Bentuk bangunan berdenah bujur sangkar dengan panjang dan  lebar 11,40 m dengan sisa ketinggian kurang lebih 2,30 m (dengan  mengambil sisi selatan).
Di  dalam bangunan ini terdapat sebuah sempalan arca wanita Budha dan  beberapa umpak berukuran besar. Kondisi arca sudah rusak, namun masih  terlihat baik. Bagian kepala dan anggota tangan arca hilang karena  pengrusakan. Oleh para ahli arca ini dikenal dengan nama Gayatri.  Gayatri adalah salah satu dari keempat anak raja Kertanegara (Singosari)  yang kemudian diwakili Raden Wijaya (Majapahit). Pada masa hidupnya,  Gayatri terkenal sebagai pendeta wanita Budha (Bhiksumi) kerajaan  Majapahit dengan gelar Rajapadmi. Bentuk  arca menggambarkan perwujudan Dhyani budha Wairocana dengan duduk diatas  padmasanan (singgasana) berhias daun teratai. Sikap tangan arca adalah  Dharmacakramudra (mengajar). Badan arca dan padmasana tertatah halus  dengan gaya Majapahit. Sedangkan jumlah umpak pada bangunan perwara ini  ada tujuh buah dengan dua umpak berangka tahun 1291 C (1369 M) dan 1322 C  (1389 M). Dengan adanya umpak-umpak tersebut diduga bangunan Candi  Boyolangu dahulunya memakai atap, mengingat fungsi umpak pada umumnya  sebagai penyangga tiang bangunan. Berdasarkan  angka tahun pada kedua umpak bangunan induk (1369 M dan 1389 M) maka  diduga Candi Boyolangu dibangun pada zaman Majapahit masa pemerintahan  Raja Hayam Wuruk (1359 M s/d 1389 M). Sedangkan sifat, nama, dan tempat  bagunan disebutkan dalam Kitab Kesusastraan Nagarakertagama karangan Mpu  Prapanca (masa Majapahit pemerintahan Raja Hayam Wuruk) bahwa di  Boyolangu terdapat bangunan suci (candi) beragama Budha dengan nama  Prajnaparamitapuri. Bangunan  perwara yang kedua berada di selatan bangunan induk. Keadaan bangunan  hanya tinggal bagian kaki dan berdenah bujursangkar dengan ukuran  panjang dan lebar 5,80 m. Adapun bangunan perwara ketiga berada di utara  bangunan induk perwara. Kondisi bangunan sudah runruh dan berdenah  bujur sangkar dengan ukuran panjang dan lebar masing-masing 5,80 m.

SUMBER : Wikipedia dan www.tulungagung.go.id